Graha Cendekia al-Karomah

Santri, Teknologi, dan Keberagamaan Pluralis

Perkembangan teknologi informasi telah membawa perubahan besar dalam cara manusia belajar, berkomunikasi, dan membentuk identitas keberagamaan. Dalam konteks Indonesia, transformasi digital turut merambah dunia pesantren, lembaga pendidikan Islam tradisional yang telah berabad-abad memainkan peran sentral dalam membentuk karakter kebangsaan dan keislaman. Santri sebagai aktor utama dalam dunia pesantren kini dihadapkan pada tantangan baru: bagaimana menjembatani warisan keilmuan klasik dengan arus teknologi digital, sekaligus tetap merawat keberagamaan yang pluralis.

Santri dan Teknologi: Dari Tradisi ke Inovasi

Santri dikenal sebagai penjaga tradisi keilmuan Islam klasik. Namun kini, mereka juga menjadi agen perubahan dalam pemanfaatan teknologi digital untuk pendidikan dan dakwah. Sejumlah pesantren mulai mengadopsi teknologi untuk memperkuat metode pengajaran, memperluas jangkauan dakwah, dan merespons kebutuhan umat (Kompas, 2022).

Penelitian oleh Choiriyah dan Khumaidi (2024) menunjukkan bahwa teknologi di pesantren memberikan dampak positif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Namun, mereka juga mencatat tantangan seperti literasi digital yang rendah, risiko penyebaran informasi palsu, dan adanya resistensi terhadap perubahan.

Santri dapat memaknai nilai-nilai seperti tabligh (menyampaikan), hikmah (kebijaksanaan), dan amar maโ€™ruf nahi munkar (menyuruh kebaikan dan mencegah keburukan) sebagai fondasi etis dalam memanfaatkan teknologi untuk kemaslahatan.

Santri dan Keberagamaan Pluralis

Keberagamaan pluralis merupakan karakter khas masyarakat Indonesia. Pesantren selama ini dikenal memiliki tradisi toleransi yang kuat, baik dalam konteks internal umat Islam maupun antaragama (NU Online, 2023). Dalam era digital, pluralisme menjadi semakin kompleks karena interaksi lintas batas budaya, agama, dan bahkan algoritma media sosial.

Kementerian Agama Republik Indonesia (2023) menegaskan pentingnya santri berperan sebagai duta moderasi beragama di ruang publik digital. Ini menuntut kemampuan untuk berdakwah secara inklusif dan menghargai perbedaan.

Nilai-nilai seperti taโ€™ฤruf (saling mengenal), tasฤmuh (toleransi), dan islฤh (perdamaian) dapat dihidupkan kembali dalam konteks dunia maya. Santri yang dahulu terbiasa berdiskusi kitab di halaqah kini harus mampu berdiskusi di ruang-ruang digital dengan spirit persaudaraan dan keterbukaan.

Peneguhan Peran Santri Digital

Redefinisi peran santri di era digital bukan hanya soal keterampilan teknis, tetapi juga kedalaman etika. Tulisan di Lab FITK UIN Sunan Kalijaga (2023) menyoroti pentingnya transformasi peran santri dari sekadar pelestari tradisi menjadi penggerak sosial yang visioner dan inovatif.

Santri memiliki landasan teologis dan moral untuk menjadi subjek aktif dalam perubahan. Mereka tidak hanya menjadi juru dakwah di dunia nyata, tetapi juga juru damai di ruang maya. Santri digital bukan hanya pengguna teknologi, tetapi pemakna dan pengarah peradaban.

Penutup

Pesantren dan santri tidak berada di luar perubahan zaman, tetapi berada di dalamnya. Tradisi keilmuan Islam dapat dibawa ke masa kini dan menjadi sumber solusi bagi tantangan zaman. Santri yang menguasai teknologi dan memahami pluralisme bukan hanya relevan secara sosial, tetapi juga sah secara teologis. Mereka menjadi penjaga teks sekaligus penggerak konteks.