Penulis: Dea Vara Amelia
Editor: Jinan Uqsida
Dalam fiqih Islam, benda yang terkena najis menjadi najis pula dan tidak boleh digunakan untuk keperluan yang membutuhkan kesucian sebelum disucikan terlebih dahulu. Ini berlaku juga untuk sapu. Jika sapu terkena najis baik najis ringan (mukhaffafah), sedang (mutawassithah), maupun berat (mughallazhah) maka sapu tersebut dihukumi najis hingga dilakukan proses pensucian sesuai dengan jenis najis yang mengenainya.
Menggunakan sapu yang masih dalam keadaan najis untuk membersihkan area, terutama area yang digunakan untuk ibadah seperti masjid, mushalla, atau tempat shalat di rumah, tidak diperbolehkan karena dapat menyebarkan najis ke area lain. Tempat atau benda yang terkena najis wajib disucikan terlebih dahulu agar sah digunakan untuk ibadah.
Menurut Imam Syafi’i, hukum menggunakan sapu yang terkena najis tergantung pada jenis najisnya dan bagaimana najis tersebut mengenai sapu. Jika najisnya adalah najis ‘ainiyah (yang terlihat wujudnya, seperti kotoran atau darah) dan mengenai sapu, maka sapu tersebut menjadi najis dan perlu disucikan. Namun, jika najisnya adalah najis hukmiyah (yang tidak terlihat wujudnya, seperti bekas najis yang sudah kering), maka sapu tersebut dianggap suci jika telah dihilangkan bekasnya.
Jika sapu terkena najis yang masih terlihat (misalnya, kotoran hewan atau sisa makanan), maka sapu tersebut menjadi najis dan harus dibersihkan. Cara membersihkannya adalah dengan menghilangkan zat najisnya terlebih dahulu, kemudian disucikan dengan air hingga hilang bau, warna, dan rasa najisnya. Jika sapu terkena najis yang sudah kering dan tidak terlihat lagi wujudnya, maka sapu tersebut dianggap najis hukmiyah. Untuk najis hukmiyah, cukup dengan menghilangkan bekas najis tersebut (misalnya, debu atau kotoran kering) dan sapu dianggap suci.
Menurut Imam Al-Ghazali, jika sapu terkena najis, hukumnya tidak boleh digunakan untuk membersihkan tempat lain sebelum disucikan. Jika sapu tersebut terkena najis ‘ainiyah (yang tampak wujudnya), maka najisnya harus dihilangkan terlebih dahulu dengan menghilangkan zat, warna, bau, dan rasa najisnya, kemudian disiram air hingga bersih. Jika najisnya hukmiyah (tidak tampak wujudnya), maka cukup dengan mengalirkan air bersih pada sapu tersebut.
Jika sapu terkena najis yang terlihat (misalnya terkena kotoran hewan), maka langkah pertama adalah menghilangkan najis tersebut. Ini bisa dilakukan dengan membersihkan kotoran yang menempel, lalu menghilangkan sisa-sisa najis yang mungkin masih menempel pada sapu. Setelah itu, sapu harus dicuci dengan air hingga bersih.
Jika najisnya tidak terlihat (misalnya bekas kencing yang sudah kering), maka cara membersihkannya adalah dengan mengalirkan air pada sapu tersebut. Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara mengalirkan air pada benda yang terkena najis (warid) dan menaruh benda tersebut pada air (maurud). Ada pengecualian jika sapu terkena najis dalam kondisi sulit dihindari (misalnya terkena cipratan lumpur di jalan). Dalam kondisi seperti ini, Imam Al-Ghazali memaafkan (tidak najis) dari sumber kajian Kalam.
Memakai sapu yang terkena najis hukumnya tidak diperbolehkan untuk keperluan yang mensyaratkan suci, kecuali setelah disucikan sesuai syariat. Namun, jika najisnya kering dan tidak berpindah, atau setelah usaha maksimal menyucikan masih ada bekas yang sulit hilang, maka hal tersebut dimaafkan dan sapu boleh digunakan kembali.