Penulis: Dian Nurlaelasari
Editor: Jinan Uqsida
Di lingkungan pesantren, pembahasan seputar najis dan kesucian sering menjadi bahan diskusi yang serius, bahkan dalam hal-hal yang tampak sepele seperti keset di depan kamar mandi. Salah satu pertanyaan yang mengemuka dari kalangan santri adalah tentang status keset yang basah: apakah kaki yang menginjaknya setelah keluar dari kamar mandi menjadi najis? Pertanyaan ini tidak hanya muncul dari rasa ingin tahu, tetapi juga dari keresahan akan sah atau tidaknya ibadah, khususnya salat, jika kesucian anggota tubuh terkontaminasi najis tanpa disadari. Karenanya, topik ini layak dikaji dengan cermat melalui perspektif fikih, terutama dengan merujuk pada Kitab Safรฎnatun Najรขh, kitab dasar fikih madzhab Syafiโi yang sering dipelajari di pesantren.
Dalam salah satu diskusi bersama para santri dan pengurus pondok, seorang santri mengangkat argumen bahwa hukum menginjak keset basah sangat tergantung pada keadaan keset itu sendiri. Jika keset dalam keadaan basah dan terdapat najis yang terlihat, seperti bekas kotoran, bau yang menyengat, atau warna mencurigakan, maka keset itu jelas dihukumi najis. Namun, jika keset kering, atau basah tetapi tidak ada tanda-tanda najis secara lahiriyahโseperti perubahan warna, bau, atau rasaโmaka keset tersebut tetap dihukumi suci. Artinya, kaki yang menginjak keset dalam kondisi semacam itu tidak otomatis menjadi najis, meskipun dalam keadaan basah.
Pengurus pondok menambahkan bahwa inti dari pembahasan ini sebenarnya terletak pada status air yang membasahi keset tersebut. Dalam fikih, terdapat pembagian jenis air yang berpengaruh langsung pada hukum najis: air suci, air mustaโmal, dan air mutanajjis. Kitab Safรฎnatun Najรขh menjelaskan bahwa air mustaโmal adalah air yang telah digunakan untuk bersuci (seperti wudhu atau istinjaโ). Air jenis ini tetap dihukumi suci, tetapi tidak bisa digunakan kembali untuk mensucikan. Sementara itu, air mutanajjis adalah air yang terkena najis dan jumlahnya kurang dari dua qullah (sekitar 270 liter). Jika air ini terkena najis dan mengalami perubahan pada salah satu dari tiga indikator utamaโwarna, bau, atau rasaโmaka air tersebut dihukumi najis secara mutlak. Inilah yang menjadi masalah ketika air dari kamar mandi yang terbatas jumlahnya digunakan untuk menyiram najis, lalu air tersebut mengalir atau menetes hingga membasahi keset. Jika air tersebut adalah air mutanajjis, maka keset yang terkena basah bisa dihukumi najis.
Namun, konteks lain yang perlu dipahami adalah keadaan air yang mengalir dan air yang tergenang. Jika air mengalir, maka najis yang masuk ke dalamnya bisa hilang terbawa arus, asalkan tidak ada perubahan warna, bau, atau rasa pada air tersebut. Sebaliknya, jika air tersebut tergenang dan terkena najis, maka kemungkinan besar air itu menjadi mutanajjis. Dalam realitas pesantren, genangan air seperti ini sering ditemukan di kamar mandi atau pelataran masjid, dan kadang memang menimbulkan keraguan: apakah genangan itu masih suci atau tidak?
Maka dari itu, sikap yang diambil harus proporsional. Jika keset basah namun tidak tampak tanda-tanda najis, maka dalam kaidah fikih disebutkan bahwa hukum asal segala sesuatu adalah suci, kecuali ada bukti yang menunjukkan kenajisannya. Kaidah ini berbunyi, โAl-ashlu fรฎ al-asyaโ ath-thahรขrah,โ yang berarti segala sesuatu pada dasarnya dihukumi suci selama tidak ada dalil atau tanda yang menunjukkan sebaliknya. Maka, jika kita tidak menemukan bau menyengat, warna mencurigakan, atau sisa kotoran pada keset, kita tidak boleh serta-merta menghukuminya najis hanya karena curiga atau merasa tidak nyaman.
Diskusi juga menyinggung soal transfer najis antara air dan benda lain, seperti keset. Jika tidak ada keyakinan telah terjadi perpindahan najis, maka tidak bisa dihukumi najis. Ini menjadi pegangan penting dalam bersikap terhadap najis dalam kehidupan sehari-hari. Maka, selama kita tidak melihat adanya perpindahan najis secara nyata dari air ke keset, atau dari keset ke kaki, maka kaki tersebut tetap dianggap suci.
Namun demikian, pengurus pondok tetap menganjurkan sikap kehati-hatian yang tidak berlebihan. Sebagai langkah praktis, mereka menyarankan agar setelah keluar dari kamar mandi, santri bisa menyiram kembali kaki dengan air yang diyakini suci.
misalnya, membawa air dalam botol kecil atau menggunakan air dari keran luar kamar mandi. Hal ini bukan karena menganggap semua keset pasti najis, tetapi sebagai bentuk ikhtiar menjaga kebersihan dan kehati-hatian tanpa terjerumus dalam sikap waswas. Sebab, dalam Islam, kebersihan adalah bagian dari iman, namun sikap berlebihan (ghuluw) dalam menganggap najis justru bisa menyulitkan diri sendiri dan mengganggu kualitas ibadah.
Aspek lain yang turut dibahas adalah cara beristinjaโ yang benar, sebab istinjaโ adalah titik awal dari munculnya najis di kamar mandi. Jika proses membersihkan diri setelah buang hajat tidak dilakukan dengan tuntas, maka air yang digunakan untuk menyiram najis bisa tercemar, lalu mencemari lantai dan akhirnya mengenai keset. Oleh karena itu, penting bagi santri dan umat Islam secara umum untuk memperhatikan cara istinjaโ yang sesuai dengan kaidah fikih: membersihkan bagian yang terkena najis dengan air yang mencukupi, menggunakan posisi yang benar (misalnya jongkok agar najis tidak menyebar), serta tidak terburu-buru saat menyiram.
Pada akhirnya, pembahasan seputar keset basah ini bukan hanya soal fikih praktis, tetapi juga mencerminkan bagaimana Islam mengajarkan keseimbangan antara menjaga kesucian dan tidak membebani diri secara berlebihan. Dalam konteks kehidupan pondok pesantren yang padat aktivitas, banyak orang, dan fasilitas yang digunakan bersama, penting untuk memiliki pemahaman fikih yang tidak hanya sahih secara hukum, tetapi juga bijaksana secara sosial. Kesimpulannya, selama tidak ditemukan tanda-tanda najis secara jelas, keset basah tidak bisa begitu saja dihukumi najis. Bersikap hati-hati diperbolehkan, tetapi jangan sampai berubah menjadi waswas. Agama ini mudah dan memudahkan, dan itulah keindahan Islam yang patut dijaga.